Gonjang-ganjing Ekonomi Dunia dan Imbasnya ke Indonesia

Oleh Andry Winanto - fakta.com
07 Februari 2024 19:16 WIB
Ilustrasi (Foto: Fakta.com)

FAKTA.COM, Jakarta - Perekonomian Indonesia saat ini tidak bisa lepas dari pengaruh global yang saling terkait.

Salah satu yang kini menjadi faktor dominan adalah tensi geopolitik. Sebagai contoh, perang di Ukraina dan konflik di Palestina telah memicu terjadinya krisis Laut Merah.

Peran strategis perairan di kawasan Middle East memberikan dampak signifikan terhadap arus barang dan jasa. Biasanya, jalur logistik Eropa-Asia memanfaatkan rute Laut Merah dan dilanjutkan melalui Terusan Suez.

Tetapi kini arah pelayaran harus memutar menyusuri pantai Afrika sehingga memakan waktu tempuh 10-14 hari lebih lama. Hal itu tentu saja membawa dampak meningkatnya biaya logistik dan sangat mungkin mengganggu rantai pasok.

Bayar Utang Luar Negeri, Cadangan Devisa Turun Jadi US$145 Miliar

Di sisi lain, ekonomi dunia tengah menghadapi perlambatan. Situasi ini bukan sekedar isapan jempol. Ekonomi negara maju memang sengaja dibuat melambat (resesi) sebagai bagian dari upaya menurunkan inflasi.

Amerika Serikat (AS) misalnya yang ingin perekonomian berjalan lebih slowdown. Tapi data menunjukan AS tumbuh 2,5% pada sepanjang 2023 atau lebih tinggi dari 2022 yang sebesar 1,9%.

Alhasil, pelaku pasar pesimistis suku bunga Amerika, Fed Fund Rate (FFR), bisa turun dalam waktu dekat.

Padahal, Bank Indonesia (BI) memprediksi FFR akan mulai melandai di semester II 2024. Ini yang kemudian menegaskan era higher for longer semakin tidak terhindarkan.

Industri Alat Kesehatan RI Raih Potensi Dagang US$13,1 Juta di Dubai

Lantas mengapa penurunan FFR menjadi krusial? Jawabannya karena suku bunga AS menjadi acuan sejumlah instrumen keuangan dunia. Saat ini obligasi Amerika 10 tahun ditawarkan dengan yield di atas 4% setelah pada awal tahun turun ke 3%. Adapun, faktor kenaikan itu dipicu oleh ketidakpastian yang berlanjut.

Kondisi yang terjadi sudah pasti membawa efek rambatan ke ekonomi Indonesia, baik ke sektor riil maupun sektor keuangan. Untuk sektor riil, terjadi perlambatan ekspor menjadi US$258,8 miliar di 2023 dari sebelumnya US$291,9 miliar di 2022.

Sementara dampak di sektor keuangan mempengaruhi yield obligasi RI yang tidak bisa turun lebih lebih cepat karena tertahan surat utang AS yang masih di level tinggi. Konsekuensinya adalah biaya dana (cost of fund) berpotensi membengkak.

Pertumbuhan Mandek 5 Persen, Ini Strategi Pemerintah Kejar Target Negara Maju

Imbas lain yang perlu dicermati yakni perihal capital inflow sulit diraih karena investor cenderung memilih obligasi asing (AS) karena faktor psikologis ekonomi yang lebih kuat.

Meski demikian, perekonomian Indonesia relatif tertolong oleh tingkat konsumsi domestik yang tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 2023 konsumsi rumah tangga berkontribusi sekitar 53% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran. 

Ini yang kemudian menjadi jawaban mengapa RI bisa mempertahankan laju pertumbuhan di atas 5% dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi dunia diyakini hanya bertengger sekitar 3% di 2023 dan 2024 versi IMF.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//