Hilirisasi Nikel Harus Masuk Rantai Pasok Kendaraan Listrik

Oleh Andry Winanto - fakta.com
06 November 2023 17:26 WIB
Smelter nikel di Konawe, Sulawesi Tenggara. (Dokumen Kemenperin)

FAKTA.COM, Jakarta - Pemerintah diketahui tengah menggiatkan upaya pemurnian komoditas tambang menjadi barang yang bernilai lebih (hilirisasi). Salah satunya pada komoditas nikel. 

Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet menilai hal tersebut perlu didukung sebagai langkah untuk mengakselerasi perekonomian nasional. 

Meski demikian, dia menyebut bahwa masih ada ruang yang bisa ditingkatkan oleh pemerintah, khususnya dalam konteks mendorong hilirisasi menjadi produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi dibandingkan saat ini. 

“Misalnya kalau kita bicara hilirisasi pada komoditas nikel. Walau sudah didorong oleh pemerintah, tapi harapannya tentu produk hilirisasi yang bisa dihasilkan dari komoditas nikel di dalam negeri adalah yang punya nilai tambah besar,” ujarnya menjawab pertanyaan Fakta.com, Senin (6/11/2023).

Lewat Nikel, Indonesia Berpeluang Ubah Geopolitik Dunia

Menurut Rendy, peta jalan hilirisasi haruslah disusun secara komprehensif dan bersifat jangka panjang. Pasalnya, nikel adalah unsur tambang yang berasal alam dan keberadaannya tidak bisa terus-menerus dieksploitasi.

Oleh karena itu dia menyarankan pemerintah untuk segera bisa mengoptimalkan potensi yang ada melalui strategi berkesinambungan dari hulu ke hilir.

“Bahkan saya kira dalam jangka menengah hingga panjang, bagaimana kemudian Indonesia terlibat dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Itu harus menjadi tujuan dari proses hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah saat ini,” tegas dia.

Terlebih, sambung dia, nikel juga terimbas volatilitas harga yang serupa dengan berbagai komoditas unggulan RI seperti batu bara dan minyak sawit. Berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS), nikel diperdagangkan pada level US$20.400 per metrik ton di kuartal III 2023.

Tambang Nikel Morowali, Antara Lingkungan dan Ekonomi

Angka itu turun cukup besar dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$22.100 per metrik ton.

Sebelumnya mantan wakil menteri (wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar mengungkapkan, mineral strategis menjadi rebutan dunia saat ini. “Sebagai contoh adalah tembaga dan nikel,” ujarnya.

Namun demikian, Arcandra menilai sumber energi bersih tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan bahan tambang atau mineral yang dibutuhkan untuk turbin, jaringan listrik dan kendaraan listrik.

Arcandra menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan produksi nikel terbesar di dunia dengan porsi mencapai 49%. Diikuti kemudian Filipina dengan 10% dan Rusia 6%.

“Menariknya, sebanyak 43% pengolahan nikel langsung dilakukan di Indonesia sendiri (melalui smelter) dan bukan di negara lain,” tuturnya.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//