Kemenperin-KESDM Beda Suara Soal Harga Gas, Harus Dukung Siapa?

Oleh Andry Winanto - fakta.com
02 November 2023 18:15 WIB
Ilustrasi gas industri. (Dokumen Ditjen Migas Kementerian ESDM)

FAKTA.COM, Jakarta - Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dalam polemik. Isu ini menjadi suara yang berbeda di dua kementerian, yakni Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, kebijakan HGBT tidak berjalan baik. "Beberapa industri justru membeli harga di atas US$6 per MMBTU, sehingga menurunkan daya saing produk mereka," kata Febri. 

Sejatinya, kebijakan HGBT merupakan wewenang Menteri ESDM sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020. Peraturan itu merupakan perubahan Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Febri mengatakan HGBT untuk sektor industri harus terlaksana dengan tepat sesuai peraturan yang berlaku. 

Pasalnya, isu kenaikan HGBT akan berpengaruh terhadap daya saing industri. Disebutkan jika perluasan program HGBT akan berdampak terhadap peningkatan investasi sektor industri di Indonesia karena adanya ketersediaan energi yang kompetitif. 

"Apalagi, pemerintah fokus untuk terus meningkatkan investasi dan kinerja sektor industri manufaktur karena menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional," ungkap Febri.

Kemenperin dan Kementerian ESDM Beda Suara soal Harga Gas

Lantas, siapa yang harus didukung dari polemik ini?

Melihat kondisi itu, Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman setuju adanya evaluasi atas implementasi kebijakan HGBT. Menurut dia, masih banyak pelaku industri yang masih kesulitan mendapatkan gas sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

"Harus ada evaluasi di lapangan antara kementerian terkait, misalnya Kementerian ESDM dengan Kementerian Perindustrian. Sebab, untuk daerah yang padat industri seperti Jawa Timur itu pembatasannya sampai 80% sementara pemakaian lebih dari itu," ujarnya kepada Fakta.com, Kamis (2/11/2023).

Ferdy juga mendorong penguatan kerja sama di antara instansi pemerintah agar dapat menghitung kebutuhan riil di lapangan. Dia pun berharap alokasi gas tidak diberikan secara merata tetapi disesuaikan dengan kebutuhan daerah tertentu.

Lebih lanjut, Ferdy menyayangkan adanya pelaku usaha yang mendapatkan harga di atas ketetapan pemerintah. "Kalau sekarang harganya US$6 per MMBTU, lalu pelaku usaha beli di atas itu pasti akan menurunkan daya saing produk mereka karena harganya akan ikut mahal," tegasnya.

Dampak Pelemahan Rupiah Kian Nyata, Industri Terseok-seok

Ferdy lantas mendorong pemerintah untuk bisa menghadirkan keputusan komprehensif yang mampu mengakomodir kepentingan luas agar kegiatan produktif dapat terjaga dengan baik.

"Harus ada solusi dari pemerintah, kalau harga gas tinggi misalnya kita bisa pakai apa. Malah saya pikir kita dapat menggunakan batu bara karena sumber energi itu banyak di Indonesia. Jadi persoalan gas ini jangan berlarut-larut," katanya.

Lebih lanjut, Ferdy menilai pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi sekarang membawa tekanan lain dalam penyediaan energi nasional. Sebab, sejumlah komoditas seperti gas elpiji masih didatangkan dari mancanegara. Oleh karena itu dia mendorong adanya sinergi yang lebih erat di antara para pemangku kebijakan, seperti dengan Bank Indonesia selaku otoritas moneter.

“Kalau nilai rupiah terus melemah bahkan sampai Rp16.000 itu sudah pasti berat, karena dengan asumsi Rp14.000 saja sudah berat. Apalagi faktor geopolitik menjadi sentimen negatif yang sangat berpotensi mengerek harga lebih tinggi lagi,” imbuhya.

Sebagai informasi, pada tahun ini Menteri ESDM, Arifin Tasrif juga menetapkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Aturan ini ditetapkan 19 Mei 2023 dan mencabut Kepmen ESDM Nomor 134.K/HK.02/MEM.M/2021, serta mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//